Sabtu, 23 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 01


Cerbung
Genre : Sad Romance

            Seandainya aku bisa memilih, aku tak akan memilih untuk dilahirkan di dunia ini. Aku lebih memilih untuk hidup selamanya di surga tanpa harus diuji di tempat di tempat siksaan dan penderitaan bernama bumi ini.
            Tapi Tuhan berkata lain. Seperti pada dasarnya, sesuatu yang baik akan selalu diiringi dengan sesuatu yang buruk. Begitu pun takdirku. Ku rasa, takdirku berat sebelah. Takdir burukku lebih berat darpada takdir baikku.
            Sejarahku sangat pahit. Mungkin setara dengan pahitnya buah maja. Entahlah. Masa kecilku ku habiskan bersama Papaku. Jangan bertanya soal Mamaku. Aku bahkan tak pernah melihat mata eloknya secara langsung. Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Kandungan Mamaku terkena komplikasi dan hanya aku yang bisa diselamatkan. Itu pun dengan jalan menyayat kulit rahim Mamaku. Menyakitkan bukan? Tentu.
            Dan saat masa sekolahku, aku hanya menghabiskannya di rumah. Menatap lugu wajah guru dalam atmosfer rumah yang pengap akan hiruk piruk keasyikan dunia luar. Aku home schooling dari TK hingga SMA kelas XII saat ini. Fisikku sangat lemah hingga aku tidak diperbolehkan untuk menimba ilmu di sekolah umum.
            Pepatah ‘ bagai burung dalam sangkar emas’ memang berlaku dalam hidupku. Harta? Aku berharap kau tak bertanya soal itu. Aku yakin perlu waktu 1 jam untuk mendiskripsikannya. Itu pun jika tidak ada jeda. Tapi manusia butuh bernafas. Jadi ku yakin akan lebih dari 1 jam untuk mendiskripsikannya. Intinya, Papaku adalah orang yang sangat kaya dan mendapat predikat orang terkaya se-ASIA.
            Tapi apa arti harta jika aku akan meninggalkannya sebentar lagi? Mungkin 1 atau 2 bulan lagi. Atau bahkan 5 menit lagi aku akan menghembuskan nafas terakhirku. Mungkin saja. Penyakit kanker jantung yang menggerogoti tubuhku dari saat ku kanak-kanak kini sudah mencapai stadium akhir. Artinya, instrument lagu kematianku sudah siap untuk disenandungkan. Sudah tak ada harapan lagi untukku saat ini. Tidak mungkin ada orang yang mau merelakan nyawanya hanya untuk seseorang yang tidak ia kenal sepertiku. Aku pun tak tega untuk merenggut nyawa seseorang yang diberi kesempatan Tuhan untuk hidup lama. Untuk bisa merajut mimpi dan mewujudkannya kelak di suatu hari. Untuk bisa menikmati indahnya berumah tangga. Untuk bisa melihat anak cucunya tertawa ceria di sekelilingnya. Untuk bisa meninggal dunia secara wajar.
            Aku tak ingin dan tak akan menjadi monster yang merenggut kegemilangan itu. Ini takdirku dan aku tak ingin menyeret seorangpun dalam takdir kelamku ini. Biarkan saja aku yang merasakannya. Tertatih nestapa dalam kelamnya dunia.
***
            Sedari tadi aku masih melempar pakan ikan di danau buatan yang terhampar di depanku ini. Terbukti kan. Papaku orang yang sangat kaya raya hingga bentukan alam berupa danau pun bisa dibuatnya. Danau ini sudah menjadi teman setiaku saat aku masih kanak-kanak. Dan dalam danau ini, terdapat ratusan ikan koi yang ku pelihara sejak aku kecil.
            Teringat saat dulu ku merengek meminta dibuatkan danau di belakang rumah. Sangat konyol memang. Dulu aku bermimpi akan menjadi putri duyung yang cantik jelita dengan segerombolan ikan koi yang hidup di danau itu. Tapi sekarang, mimpi itu menjadi hal konyol dalam sejarah hidupku. Putri duyung hanya hidup di negeri dongeng. Dan sekarang aku hidup di dunia nyata. Imajinasiku terlampau tinggi saat aku masih kanak-kanak.
            Aku menenggelamkan kakiku hingga air menyentuh mata kakiku. Menggerak-gerakannya pelan. Mengundang kawanan ikan mendekatinya. Gerakan lembut ikan yang melewati kakiku membuatku merasakan kedamaian.
            Aku mulai menghela nafas panjang. Menghembuskannya dengan lembut seraya berkata
            “Fishy,  pagi yang sangat cerah untuk hari ini. Tapi awan pekat tak kunjung pergi dari hatiku. Hatiku masih kelam. Saatnya akan segera tiba. Saat-saat dimana kita tak bisa bermain bersama lagi seperti saat ini. Saat-saat dimana aku tak bisa memberimu makan seperti sekarang ini. Dan saat-saat aku berbagi kisah bersamamu seperti saat ini. Kalau aku sudah benar-benar pergi, jangan nakal ya. Berkembangbiak yang banyak. Jadilah maskot keberuntungan bagi Papaku. Hibur Papaku saat dia sedang suntuk. Ok!” Mungkin aku sudah gila. Berbicara sendiri dengan ikan-ikan yang jelas-jelas berbeda bahasa denganku. Tapi faktanya, ini sudah menjadi ritualku jika aku berada di danau ini. Mengadu pada segerombolan ikan yang menjadi teman hidupku. Aku sangat menyayangi mereka hingga mereka ku beri nama Fishy.
            Aku menatap hamparan pohon yang ada di seberang danau. Matahari sudah agak condong membentuk sudut 45 derajad. Aku melirik arlojiku. Pukul 09.00. Saatnya untukku pulang. Bersiap untuk
menjalani hal yang paling ku benci di rumah.
            Aku mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Melangkahkan kaki menyusuri tanah yang berlapis rumput hijau segar. Dapat ku rasakan lembut belaiannya. Salah satu anugerah yang akan ku rindukan saat aku sudah benar-benar pergi dari dunia ini.
            Ku hirup udara sebanyak mungkin. Memastikan mendapatkan oksigen yang banyak untuk memenuhi hasratku untuk bernafas. Ku memejamkan mataku, memejamkan surga terhampar di depan mataku. Tempat yang menjadi tujuan semua orang setelah meninggal. Emmm. Aromanya begitu wangi, bukan seperti aroma bumi. Aaah, ini bukan bumi. Ini gudang penyiksaan untuk hidupku. Tak ada keindahan yang tersaji. Kalaupun ada, keindahan itu hanya ilusi belaka, tidak benar-benar ada. Buktinya, hidup sehat dan bahagia tak kunjung ku rasakan. Aahhh aku muak.
Aku berlari menumpahkan kekesalanku. Jarak rumahku dengan pijakan kakiku sudah semakin dekat. Kira-kira 5 sampai 10 meter. Tapi ku rasakan napasku berubah tersendat-sendat. Dadaku terasa sesak, dan kepalaku terasa berat. Ku rasa akan terjadi sesuatu yang biasa terjadi padaku. Benar saja. Dari mulutku keluar cairan merah segar yang menyembur dengan derasnya. Langkahku menjadi pontang-panting, dan akhirnya aku pun terjungkal jatuh.
Saat aku terkapar, dadaku masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya pun terasa memudar. Hingga akhirnya...

#Tunggu part selanjurnya ya.... 1 minggu lagi  :)

Author : Butterfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar